Sepetik Senar Kecapi di Hatiku (Cerita Pendek)
Sepetik
Senar Kecapi di Hatiku
“Untuk apa kamu bermain kecapi? Kan kamu tidak bisa mendengar.”
“Ah, percuma berbicara denganmu, Kampilauh.” Perkataan yang terbaca
lewat gerak bibirnya itu mengiringi langkahnya yang perlahan menjauh. “Kau yang
pergi? Atau aku saja!” Mungkin seperti itu isyarat yang ia coba sampaikan.
Tanganku mendekap erat kecapi kesayangan, yaitu sebuah kecapi
sederhana berwarna kuning dengan bentuk akar-akaran yang meliuk indah hasil
lukisan tangan ibuku. Cukup berat, namun tak apa, aku senang memainkannya ke
mana pun aku berada. Benda ini mahal nilainya, sebab setiap momen di hidupku
terlantun lewat petikan senarnya di setiap pagi. Yang menjadi teman setiaku
sedari kecil, bahkan saat semua sudah berubah.
Aku sengaja memetik satu-dua senar kecapi sembarang untuk meluapkan
sederet kata yang terbaca lewat gerak bibir seorang tadi. Begitu menyelekit di
hatiku. Mengapa orang-orang bertindak seakan aku tak berdaya dan tak bisa
melawan? Sungguh gerak-geriknya seenaknya mempermainkan hatiku yang hampir
rapuh terhanyut rasa keraguan.
Wajahku kalut. Terpaku memandang batu-batu kecil tak bersalah yang
kutendang tanpa maksud. Yang satu di antaranya lompat menenggelamkan diri di genangan air. Aku yakin batu itu
sempat menjerit nyaring sebelum hilang di sana. Berusaha abai pada batu itu,
tapi langkahku datang menghampirinya. Lamat-lamat kuperhatikan genangan itu.
Ya, ada batu itu. Ada juga ikan gabus yang menampakkan kepalanya. Bersama
ribuan anaknya, ikan gabus itu kabur melarikan diri akibat hadirnya diriku yang
sepertinya mengganggu ketenangann mereka.
Sebentar lagi kaki ini hampir sampai di depan rumah, namun mata justru
menyoroti lambaian tangan swastamita yang segera digantikan sang rembulan.
Sungai Kapuas Murung yang setia mengalir di dekat rumahku memang seindah itu.
Rona merah keorenannya menghangatkan hati di sela hembusan angin malam yang
mulai menyapa. Aku berusaha keras menikmati momen itu, namun ingatan tentang
sebuah jongkong karam yang bertengger di sana begitu sulit dihapus. Cepat-cepat
aku melangkah masuk ke dalam rumah, mencoba meninggalkan semua bayangan itu.
Semua bermula dari suatu pagi yang
ternyata menjadi terakhir kalinya aku merasakan nikmat yang Tuhan beri. Mendengarkan
kicauan burung yang hinggap di dahan pohon dekat rumahku, dan menyebutkan
sederet kata yang tak selesai dari mulutku. Setelahnya dunia yang hening mulai
merenggut fungsi dua indraku, dan sosok yang amat kusayang.
Aku terbaring malas,
menggulingkan diri di atas kasur. Dari sudut ruang tengah terdengar kecapi
kesayangan yang ibu suka petikkan. Jarak suara kakinya semakin terdengar jelas
hingga akhirnya berhenti di depan pintu kamarku yang terbuka. Ibu berdiri di
sana, menyunggingkan senyumnya.
“Kampilauh, maukah temani Ibu di
pinggir sungai? Ibu ingin menangkap ikan. Mainkanlah kecapi yang sudah ibu
ajari padamu! Biar Ibu semakin semangat, dan ikan yang ditangkap semakin
banyak.” Ucap Ibu sambil menyunggingkan senyum terindahnya.
“Ibu, aku malas sekali bermain kecapi itu lagi. Setiap hari aku
mendengarnya. Aku masih rindu kasur kesayanganku. Biarlah Ibu pergi bersama
kecapi itu, dan aku tetap di sini.” Ujarku menjawab lembutnya ucapan Ibu dengan
cetus.
“Baiklah. Ibu pergi ya. Hati-hati di
rumah, anakku sayang.” Ucap Ibuku sabar.
Senyumannya melambaikan tangan
padaku. Sudah jauh terdengar bunyi senar yang telingaku malas dengar. Mulutku
juga tak rela menyebut sepatah kata untuk membalas kalimat Ibu. Hanya ada
kemalasan yang mengikatku erat di kasur ini. Wajah kutenggelamkan pada bantal,
dan mataku terpejam, membawa masuk dalam mimpi.
Hujan deras yang membasahi sebagian
sudut kamar membangunkanku dalam kegaduhan. Jendelaku masih terbuka. Aku lekas
menutupnya. Sekilas kupandang bahwa dedaunan hijau di luar sana saling berpegangan kuat. Menahan
diri agar tidak tersapu oleh derasnya angin yang mengamuk. Aku berteriak
mencari-cari Ibuku, tetapi tak ada balasan. Aku keluar rumah, mengingat Ibu
pergi menangkap ikan. Aku berlari kencang sebisaku, berharap mengalahkan
kencangnya hujan saat ini. Tak peduli sebasah apa tubuhku. Air jatuh bercucuran
dari rambutku bersama isak tangis dan teriakan yang saling beradu. Aku sampai
di pinggir sungai, tempat Ibu biasa menangkap ikan. Kepalaku menoleh ribut demi
sosok tersayang yang kucari. Ada kecapi kesayangan Ibu yang tergeletak di sini,
tapi di mana Ibu? Sebuah jongkong terbalik hampir tak tertangkap oleh mata di
tengah sana. Jongkong yang biasa Ibu pakai. Ibu berada di sana.
“Ibu! Bertahanlah di sana! Segera
Kampilauh akan menyelamatkan Ibu!” Teriakku sekencang-kencangnya diiringi harap
agar Ibuku masih bisa mendengarkan teriakanku.
Aku melompat masuk ke dalam air. Berusaha berenang, namun percuma.
Gelombang besar mudah menenggelamkanku. Kakiku tak mampu menyelam lebih dalam
lagi. Air menekan dada dan telingaku. Dadaku mulai sesak bersamaan dengan
telinga yang mendengung. Nafasku terengah-engah membuat sebagian besar air
masuk ke hidungku tanpa permisi. Aku bersikap abai pada semuanya. Sedikit lagi,
pikirku. Sebentar lagi aku akan sampai dan bisa menyelamatkan Ibuku. Akan
tetapi, nyaliku menciut. Petir yang
terlihat dari kejauhan membelah sungai. Aku masih begitu kecil untuk membawa
keberanian besar dalam mencari ibuku di dalam sana. Aku kembali menepi, dan
naik ke permukaan air.
Aku pulang membawa sisa hidupku yang hilang. Hujan masih sama
derasnya, tapi tak ada serintik air pun yang terdengar. Ribuan kata siap
kuteriaki, tapi lidahku kelu mengucapkannya. Ibuku, suara berisik dunia, dan
sepatah kata kuucapkan hilang begitu saja. Ya, aku kehilangan sosok
tersayang dan fungsi dua indraku. Hanya kecapi itulah yang hadir menemaniku
kala dunia mulai hening. Aku kembali ke rumah dengan membawa sisa-sisa hidupku.
Maafkan aku, Ibu.
Kembali pada diriku sekarang yang
penuh tanda tanya. Mempertanyakan hal-hal yang tak jelas jawabannya. Segerombolan
anak remaja mengekori punggungku, siap melontarkan satu atau dua pertanyaan
retoris kepadaku. Aku sudah biasa, karena bukan sekali dua kali. Akan tetapi,
bukankah menjengkelkan hadirku terus dipertanyakan? Bukankah menjengkelkan
wujudku terus dipertanyakan seolah ini yang menggaduh di kebingungan benak
setiap orang?
Anak itu melontarkan kalimat tanya yang kucoba terka paksa. Berharap
sederet kata yang berantakan dari bibirnya dapat cepat kususun rapi, tapi aku
berterima kasih kepada sekumpulan anak yang mengelilingiku ini. Garis wajah
yang terukir akibat guraian yang menggugah tawa menjawab segalanya. Aku tak
tahu pasti, tapi itu jelas olokan. Ya, seperti itulah.
Mengapa takdir tak bisa ditukar-tambah? Mengapa aku seakan harus
tawar-menawar pada takdir, agar ada sedikit keringanan atas beban yang kupikul
sepanjang hayat ini? Lagi-lagi diriku penuh tanda tanya, bahkan aku pun
mempertanyakan diriku sendiri. Kakiku
segera beranjak dari tempat yang begitu berisik di hati. Meninggalkan mereka
dengan dunia mereka sendiri, dan aku kembali dengan duniaku. Dunia yang penuh
suara lembut kecapi kesayangan. Kecapiku lebih baik daripada semua batang
hidung di sana. Lebih memilih diam mengerti diriku daripada mempertanyakan
segala sesuatu yang akhirnya menyakitiku.
Hari berlalu membawaku tiba di ruangan kelas ini. Teman sebangkuku,
Baya, membuyarkan lamunan yang terlihat begitu kosong dari mata cokelatku.
Hanya tekukan garis bibir yang menjawabnya. Tanganku bergerak ribut menulis
kata perkata yang segera akan dikumpul di depan kelas. Kucoba mengabaikan
ingatan pilu yang membekas itu, aku sadar bahwa takdirku sudah setengah lebih
kujalani, dan saatnya untuk mengekspresikan suaraku lewat sepetik senar kecapi.
Aku maju mengumpulkan selembar kertas putihku yang penuh dengan
goresan tinta bertuliskan sisa-sisa harapan yang ada di diriku. Kertas yang
sudah terlipat-lipat, seakan malu menunjukkan apa yang tertulis dalam dirinya.
Sepatah harap agar kecapiku bisa disorot dunia, tak hanya diriku yang kata
dunia penuh keterbatasan. Lembaran putih itu tergeletak pasrah di atas meja
guru, kubiarkan dibaca saksama oleh guruku. Guruku beranjak mengambil spidol
tebal berwarna hitam. Tangannya luwes mengukir huruf-huruf di papan tulis itu.
Aku masih berdiri kaku di depan mejanya, dan seketika teman sekelasku terlihat
ribut menyoraki tulisan di depan mereka dengan suka. Badan guruku bergeser, dan
mataku membaca tulisan berhuruf kebesaran di sana.
Ibu akan ikutkan teman kita, Kampilauh, bermain kecapi di kontes musik
antar sekolah.
Ayo beri dukungan dengan menyaksikan penampilannya!
Semenjak itu, setiap bangun pagi, sebelum embun luruh dari atap
rumbia, aku setia memainkan kecapi kesayanganku. Aku giat berlatih untuk
menampilkan yang terbaik. Tak pernah puas memainkannya hingga matahari menyapa
dan melambai pergi. Aku ingin membayar semua waktu yang terbuang akibat
keraguan yang membungkamku. Duduk di tepi kasur, sambil memandangi
langit-langit kamar dan sekitar yang penuh hening. Jemariku asyik memetik senar
ke senar. Berpindah lincah dari satu ke yang lain. Irama merdunya terbaca lewat
getaran di hatiku. Semakin aku mendekapnya erat. Semakin aku mendengarnya
jelas. Rutinitasku tak pernah lepas dari
berlatih memainkan kecapi sehabis bangun pagi.
Hingga tiba pagi yang kutunggu.
Ragaku sudah terbalut seragam sekolah. Tertempel tanda peserta di bagian dada
kiriku. Tirai besar menutupiku dari khalayak yang siap menyaksikan setiap
penampilan anak-anak bertalenta. Aku mengintip diam-diam. Orang-orang sudah
ramai bertepuk tangan. Peserta ini sudah kembali ke belakang panggung, dan saatnya
giliran aku. Giliran aku yang membangunkan pagi setiap orang lewat sepetik
senar kecapi di hatiku. Kakiku melangkah maju, menampakkan ragaku yang setengah
mati berdiri di sini. Aku sekali menoleh ke belakang, membaca tulisan besar
yang tertempel di dinding panggung.
Ekspresi Seni, Inspirasi Negeri.
Seluruh orang berkumpul menyaksikan momen getir antara aku dan kecapiku.
Batas-batas yang selama ini enggan kulewati. Sebuah perbatasan yang hanya
menundukkanku pada keraguan. Bibir yang terdengar bisu seakan melontarkan
ribuan kata berwarna abu-abu. Mungkin itu sebuah dukungan, pertanyaan atau
olokan. Sungguh, aku muak memikirkannya.
Aku duduk bersila, mengosongkan bagian tengah agar kecapi dapat duduk
manis di sana. Jemari lentik siap menari di atas senar-senarnya. Raut wajahku
mungkin terlihat carut-marut. Jantungku berdetak lebih cepat sedetik,
menandakan aku untuk SEGERA. Aku hampir saja tertelan rasa ragu, tapi seorang
temanku, Baya, yang terlihat begitu semangat meneriakiku, bahkan teriakannya
terdengar di hatiku.
Senar pertama kupetik, melepas belenggu rasa raguku.
Senar kedua kupetik, mengosongkan pikiran jenuhku.
Senar ketiga kupetik, mengobarkan api semangatku.
Kecapi menyapa hatiku dan seluruh orang lewat getaran merdunya. Telingaku
memang tak disapa oleh suara mana pun. Lidahku kelu tak berbicara sepatah kata
pun. Akan tetapi, senar-senar yang kupetik mewakili semuanya. Ia berani
menyuarakan isi hatiku, membiarkan agar sepatah dua kata yang enggan keluar
dari mulutku terdengar jelas oleh khalayak yang mengisi penuh ruangan ini.
Senarnya memikik nyaring saat aku memetiknya. Mengisi sunyi-sepi di setiap
sudut ruangan besar ini. Berpindah dari senar ke senar, menggentarkan
semangatku yang berapi-api lewatnya. Mulutku diam, membiarkan kecapi kesayanganku
yang berbicara mengekspresikan diriku sesungguhnya. Kedua bola mata membaca
gerak-gerik seisi ruangan ini. Ada yang terpaku dalam diam. Ada yang pipinya
sudah beroleskan air mata. Ada yang senyumnya terukir sempurna seolah berterima
kasih kepada aku dan kecapi, karena telah menyucikan telinganya.
Akhirnya, jemariku berhenti memetik senar kecapi kesayangan. Bukan karena
gagal, tetapi karena aku berhasil mengekspresikan suara lewat petikan senar
kecapi. Suara yang selama ini terbungkam. Alunan kecapi yang selama ini setia
menemani jalan hidupku. Dari perbedaanku yang dikucilkan menjadi dirangkul. Dari
diabaikan menjadi dipedulikan. Langkah kakiku tertahan sesaat seorang
menyodorkan kertas berisi satu pertanyaan yang lagi-lagi dilontarkan padaku.
Aku siap menjawab, dan kali ini pertanyaannya begitu lembut kubaca.
“Apa pesanmu untuk negeri?”
“Matahari tidak perlu didengar untuk terlihat megah. Langit juga tidak
perlu berteriak untuk tampak indah. Semua lewat sentuhan dan penglihatan. Aku
yakin aku bisa semegah matahari dan seindah langit untuk menginspirasi negeri
lewat batas-batas yang kumiliki.” Tulisku lihai di atas lembar putih itu.
Setitik tinta menjadi jawaban dari semua pertanyaan yang selama ini
digantung oleh tanda tanya. Yang akhirnya selesainya, dan akan lanjut. Tetap
bersama kecapi kesayanganku, aku terus mengekspresikan jati diriku demi satu
atau dua jiwa terinspirasi.
Komentar
Posting Komentar