Melangkah Lewat Kata (Cerita Pendek)

Melangkah Lewat Kata

Maharba duduk diam di kamarnya yang tenang. Hanya ditemani denting jarum jam dan semilir angin sore dari jendela besar yang terbuka lebar. Di luar sana, pohon-pohon bergoyang, dan langit memerah seperti kanvas yang dilukis mentari. Semuanya itu indah, tapi baginya, itu hanyalah dunia yang hanya bisa dipandang dari balik kaca.

Di usia 16 tahun, Maharba tak lagi melangkah keluar rumah. Bukan karena tak mau, tapi karena tak mampu. Sebuah kecelakaan mencuri langkahnya, hingga ia berakhir di sini, di sudut kamar yang menjadi saksi bisu, ditemani kursi rodanya yang setia.

Di atas meja, tergeletak sebuah buku bersampul cokelat tua sedikit lusuh, namun masih terawat. Di pojok kanan bawah sampulnya, tertulis sebuah nama dengan tinta emas yang nyaris pudar: Adnan. Buku itu berisi lembaran-lembaran tebal dengan coretan tangan sang Ibu. Mulanya ia anggap remeh, hingga akhirnya menjadi jejak terakhir kehadiran Ibu dalam hidupnya, sebelum sang Ibu pergi untuk selamanya.

Saat malam datang dan sunyi mulai merambat ke dinding-dinding kamarnya, Maharba menatap buku itu seperti menatap kenangan yang enggan pulang. Tangannya ragu menyentuh sampul buku itu, seolah takut membuka luka lama.

“Ibu...” bisiknya lirih.

Bayangan wanita lembut itu menari di pikirannya. Ia teringat tangan hangat yang mengusap kepalanya, senyum yang selalu menguatkan, dan suara yang mengajaknya bermimpi, bahkan saat dunia tampak mengecil baginya. Lalu ingatan itu datang seperti badai, mengantarkannya kembali ke satu kenangan pilu yang terus menghantuinya

“Ibu ikut, ya?” pinta Maharba kecil dengan mata berbinar. “Cuma sebentar ke toko buku. Aku cuma mau lihat buku sejarah yang itu... yang ada gambar peta-petanya!”

Ibunya tersenyum. “Hari ini Ibu agak lelah, Nak.”

“Tapi aku udah janji ke teman-teman...”

“Baiklah, tapi kita cepat saja, ya?”

Maharba sungguh girang mendengarnya. Jawabannya sesuai harapan. Langkahnya bergegas riang, tak sabar untuk segera memegang buku yang ia dambakan. Kala senyumnya begitu merekah, ada garis takdir yang siap menghancurkan dia, senyumannya dan ibunya. Seolah roda mobil yang berputar saat ini akan memutar jalan hidupnya 360 derajat. Hanya setengah dari jalan yang ditempuh, mereka terhenti saat truk melaju kencang di tikungan.

Bertahun-tahun ia menyimpan rasa bersalah yang menyesakkan. Ia merasa dialah yang membuat ibunya tak kembali. Semua karena permintaannya dan keegoisannya. Ia bahkan menolak membuka buku Adnan, karena buku itu mengingatkan terlalu banyak hal yang tak sanggup ia hadapi.

Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Sebuah dorongan kecil, entah dari mana, membuatnya membuka lembaran pertamanya.

Halaman demi halaman, Maharba menemukan keajaiban. Buku itu bukan hanya berisi tulisan, melainkan petunjuk. Petunjuk untuk menulis, membayangkan, dan mencipta. Ia mulai menulis tempat-tempat yang ingin ia kunjungi, seperti Gurun Sahara, Himalaya, Aurora di langit utara.

Tulisannya terasa begitu nyata. Ia bisa “melihat” warna pasir, merasakan dingin salju, bahkan mendengar suara ombak dari pulau tropis. Kata-kata menjadi jendela yang lebih luas dari kaca kamarnya. Lalu, ia menemukan satu halaman yang berbeda. Halaman itu lebih tipis dari yang lain dan terselip di antara dua bab. Tinta pudar menghiasi halaman itu dengan tulisan tangan milik seorang yang ia rindukan selama ini.

Tulisan Ibunya:

Anakku Maharba,

Jika kau membaca ini, itu berarti kau telah membuka buku ini, dan hatimu.

Maaf karena Ibu tak pernah berkata sejujurnya. Ibu tahu tubuh ini tak akan lama menemanimu. Dokter sudah bilang sejak awal. Hari itu, saat kau mengajak Ibu ke toko buku, Ibu tahu tubuh ini lelah, tapi hatiku tak sanggup menolak.

Bukan karena paksaanmu, Nak, tapi karena aku ingin melihatmu bahagia untuk sekali lagi, dan terakhir kalinya.

Kecelakaan itu bukan salahmu. Kalau saja kau tahu, betapa selama ini Ibu bangga padamu. Bahkan saat kau marah dan merasa lemah, kau tetap anak Ibu yang kuat. Jangan pernah menyalahkan dirimu.

Buku ini bukan warisan, tapi jembatan. Jembatan antara kita, antara harapan dan kenyataan. Tulis, Nak. Tulislah duniamu. Jangan biarkan batas di tubuhmu membatasi semesta dalam pikiranmu.

Ibu mencintaimu. Selalu.

— Ibumu, Adnan.

Air mata jatuh tanpa suara. Maharba memeluk buku itu erat, seolah bisa merasakan pelukan ibunya di sana. Untuk pertama kalinya, rasa bersalah yang membatu dalam dirinya mulai mencair. Seketika, kesunyian kamarnya terasa tak lagi menakutkan. Ia merasa ditemani. Ia tak lagi melihat buku Adnan sebagai pengingat kehilangan, tapi sebagai penghubung cinta yang abadi antara ia dan ibunya. Ia mungkin tak punya kaki, tapi kata-kata Ibunya mengepakkan sayap semangatnya. Ia percaya bahwa kehadiran Ibunya setia menemaninya lewat goresan tinta yang tertulis rapi di buku itu.

Sejak hari itu, Maharba tak lagi hanya melihat dunia dari balik jendela. Ia menyentuh dunia lewat kata-kata. Ia sedang berkelana lewat buku bersama segala mimpinya yang terbang tinggi, dan Ibunya, Adnan, yang tersenyum melihatnya dari balik langit biru di atas sana.

Cerita tentang kaki yang tak berjalan, tapi hati yang tak pernah berhenti menjelajah. Ia tahu, perjalanannya baru dimulai. Tanpa kaki, tapi dengan pena dan mimpi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inikah Hidup Berkata? (Puisi)

Sepetik Senar Kecapi di Hatiku (Cerita Pendek)