Postingan

Inikah Hidup Berkata? (Puisi)

 Inikah Hidup Berkata? 7 Kali aku tertawa 7 turunan beban perih yang dipiku; Tawaan renyah menjadi miris Sadis terjadi pada sang gadis Seharusnya ia duduk manis, menanti sang kekasih Otak membuntu, tapi ide mesti berjalan Semakin tumpul saat diraut Semakin kotor saat dihapus Hitam pekat membekas jelas Membawa mata lemas melihat Oh Tuhan, tolonglah aku! Aku menangis karena aku kuat Siap dihujani, bahkan dibanjiri Serangan semu badai kehidupan Menerjang, mengobrak-abrik isiku Sepenggal kata tak sempat terucap Duluan terdahului oleh jahatnya dunia Yang memenggal kewarasan ini Siap lahir Siap hidup Siap mati

Pesan Cinta untuk Matahariku (Puisi)

Pesan Cinta untuk Matahariku Terbangun dalam gelapnya dunia Jiwaku penuh dengan ketakutan Cemas memikirkan nasib Apalah jadinya diriku nanti?   Melangkah tanpa arah Berharap pintu keluar kudapatkan Walau semuanya sia sia jadinya Tanpa terang mengiringi langkahku   Bagai pentingnya matahari bagi dunia Itulah Papah dan Mamah bagiku Menjadi terang di setiap langkah Memberi kehangatan dengan cinta dan kasih sayang   Tiga tahun telah kulalui Akhirnya pintu keluar ada di depanku Bersama Papah dan Mamah Yang menjadi matahariku   Papah, Mamah Liat anakmu ini! Yang dulu begitu penakut Sekarang berani berdiri di sini Papah, Mamah Liat anakmu ini! Yang dulu masih kelas 7 Sekarang sudah lulus smp!   Kelulusan dan prestasi Itulah hadiah kecilku tuk Papah dan Mamah Sebagai bukti perjuanganku Atas perhatian kalian selama ini   Papah dan Mamah Ketahuilah kalian orang tua terhebat bagiku Kurangnya aku seorang anak Tak mengurangi rasa sayang kalian padaku Banyaknya cinta pan...

Sepetik Senar Kecapi di Hatiku (Cerita Pendek)

Sepetik Senar Kecapi di Hatiku “Untuk apa kamu bermain kecapi? Kan kamu tidak bisa mendengar.” “Ah, percuma berbicara denganmu, Kampilauh.” Perkataan yang terbaca lewat gerak bibirnya itu mengiringi langkahnya yang perlahan menjauh. “Kau yang pergi? Atau aku saja!” Mungkin seperti itu isyarat yang ia coba sampaikan. Tanganku mendekap erat kecapi kesayangan, yaitu sebuah kecapi sederhana berwarna kuning dengan bentuk akar-akaran yang meliuk indah hasil lukisan tangan ibuku. Cukup berat, namun tak apa, aku senang memainkannya ke mana pun aku berada. Benda ini mahal nilainya, sebab setiap momen di hidupku terlantun lewat petikan senarnya di setiap pagi. Yang menjadi teman setiaku sedari kecil, bahkan saat semua sudah berubah. Aku sengaja memetik satu-dua senar kecapi sembarang untuk meluapkan sederet kata yang terbaca lewat gerak bibir seorang tadi. Begitu menyelekit di hatiku. Mengapa orang-orang bertindak seakan aku tak berdaya dan tak bisa melawan? Sungguh gerak-geriknya seenakny...

Lahir di Tanah Air Tercinta (Puisi)

Lahir di Tanah Air tercinta Lahir di Tanah Air tercinta Terukir senyuman yang menghiasi tiap sudut dunia Rasa damai menyelimuti tiap jawa dan raga Tenang kurasa, aman kurasa hidup di sini Oh, begitu indahnya tanah kelahiranku  Namun semua hanya sementara Tak kukira ukiran senyum perlahan hancur tak tersisa Rasa damai pergi menjauh begitu saja Di mana rasa tenang di hidupku? Di mana? Semua berubah sejak datangnya sosok penjajah Menginjakkan kaki dengan kejam Menindas tiap raga yang tak berdosa Mencuri ketenangan jiwa tiap daksa Memberikan bekas yang tak pernah pudar Dengan cucuran darah dan keringat, Daksamu rela menahan rasa sakit peluru dan tombak Engkau rela mengorbankan segalanya demi memperoleh kebebasan  Bangkitlah pejuang! bangkitlah! Engkaulah harapan negeri ini, tegakkan semangatmu! Negeri ini membutuhkanmu

Melangkah Lewat Kata (Cerita Pendek)

Melangkah Lewat Kata Maharba duduk diam di kamarnya yang tenang. Hanya ditemani denting jarum jam dan semilir angin sore dari jendela besar yang terbuka lebar. Di luar sana, pohon-pohon bergoyang, dan langit memerah seperti kanvas yang dilukis mentari. Semuanya itu indah, tapi baginya, itu hanyalah dunia yang hanya bisa dipandang dari balik kaca. Di usia 16 tahun, Maharba tak lagi melangkah keluar rumah. Bukan karena tak mau, tapi karena tak mampu. Sebuah kecelakaan mencuri langkahnya, hingga ia berakhir di sini, di sudut kamar yang menjadi saksi bisu, ditemani kursi rodanya yang setia. Di atas meja, tergeletak sebuah buku bersampul cokelat tua sedikit lusuh, namun masih terawat. Di pojok kanan bawah sampulnya, tertulis sebuah nama dengan tinta emas yang nyaris pudar: Adnan. Buku itu berisi lembaran-lembaran tebal dengan coretan tangan sang Ibu. Mulanya ia anggap remeh, hingga akhirnya menjadi jejak terakhir kehadiran Ibu dalam hidupnya, sebelum sang Ibu pergi untuk selamanya. Saat mal...